Sekarang
Nio berdiri di depan sebuah bangunan yang tampak seperti bangunan kuno.
Bangunan ini terletak di kota yang bernama Dasos. Setelah Nio mencari informasi,
ia sedang berada di Negara yang bernama Albenia.
Bangunan
yang Nio pandangi itu cukup membuat ia penasaran dengan di dalamnya. Ia ke sini
atas rekomendasi dari Rubert, pengawal kemarin. Dan yang cukup mengejutkan, dia
kenal dengan kakeknya Nio.
Setelah
Nio menutup kembali pintu bangunan yang bertuliskan “Petualang”, pemuda itu
ditatap asing oleh orang yang ada di dalamnya. Sebenarnya Nio merasa risih,
namun ia penasaran dengan apa yang di katakan oleh kakek—Nio memanggilnya kakek,
karena Rubert seumuran dengan kakeknya Nio. Namun di dunia ini, dia keliatan
masih muda—Rubert itu.
Perkataan
Rubert terus terngiang di telinga Nio. Kini ia berada di depan meja, lebih
tepat nya seperti tempat memesan minuman dan makanan, singkatnya tempat ini
merupakan kafe sekaligus pemberi misi bagi para petualang.
“Permisi,”
ucap Nio.
“Iya?
Ada yang bisa saya bantu?” Tanya perempuan yang berada di seberang meja itu.
“Saya mau jadi petualang!”
Raut
wajah perempuan itu terlihat kaget. Apa dia memikirkan bahwa Nio tidak bisa
menjadi petualang? Nama “Reina” terpampang di name tag bajunya.
“Haha,
yakin?” Tanya seorang pria berbadan besar dan berotot yang tiba-tiba berada
disamping Nio. Pria itu membawa gada besar di punggungnya.
“Yakin!”
jawab Nio bersemangat.
“Hei, Bocah. Salah satu syarat untuk menjadi
petualang adalah minimal mempunyai senjata yang paling kecil, karena para
petualang disini tidak sembarangan. Mereka semua hebat dan berbakat. Dan lagi,
petualang ini merupakan organisasi bawahan dari pemimpin pasukan milik
kerajaan,” jelas pria bertubuh besar itu.
Nio
menoleh kembali ke perempuan yang bernama Reina tadi. “Ya, benar kata Jhon,”
katanya sambil menunjuk pria besar yang bernama Jhon itu.
“Tapi,
aku tidak mempunyai senajata apapun!”
“Ya
anda tidak bisa mendaftar jadi petualang.”
“Sebaiknya, kau pu—”
“Nih,”
ucap seseorang yang memberikan Nio sebuah pisau yang sedikit lebih besar dari
ukuran pisau biasanya.
“Selvi?”
Tanya Jhon kaget dengan kehadiran orang itu.
Nio
menatap orang itu yang tengah membuka tudung kepalanya. Ternyata dia adalah
perempuan yang menghabisi pasukan penyerang pengawal tadi.
“Maksdunya?”
Tanya Nio bingung.
“Kau
ingin menjadi petualang, kan? Anggap saja ini imbalan karena sudah memberikan
pertolongan pertama pada pengawal tadi. Dia adalah paman ku.”
“Tapi,
Dagger itu, kan?” Tanya Jhon memastikan.
“Iya,
ini adalah Dagger kesayanganku.” Tatapannya beralih menuju mata Nio. “Aku
harap, kamu menjaganya dengan baik,” ucap perempuan yang bernama Selvi itu lalu
ia meninggalkan meja tempat Reina bertugas.
“Oke
lah kalau begitu, kau isi formulir pendaftaran ini, lalu tunggu untuk dibuat
kan sebuah alat yang wajib dimiliki oleh semua petualang.”
“Bagus,
Bocah. Aku harap, kau tidak akan cepat mati, haha,” ejek Jhon lalu pergi dari
meja Reina bertugas itu.
“Oh
iya, saran dariku, kau harus menemukan guru atau teman berlatih. Karena dengan
kemampuanmu saat ini, kau pasti akan mati dalam misi yang paling rendah.”
“Cih,
aku pasti akan berkembang dengan cepat!”
“Atau,
satu syarat agar alat petualang mu akan aku berikan kepadamu.”
“Apa
itu?” Tanya Nio penasaran.
“Carilah
partner dan bentuk sebuah tim. Minimal satu tim ada dua orang, kau dan orang
lain. Dengan itu, kau akan aku berikan alat petualang itu.”
“Hah?!”
“Ku
saran kan, sih. Selvi, perempuan tadi. Ku dengar, dia sedang tidak punya
partner. Semoga dia mau denganmu.” Reina segera masuk ke sebuah ruangan,
sementara Nio memberinya tatapan kesal sambil mengisi formulir yang di berikannya.
***
Nio
melihat perempuan yang bernama Selvi tadi sedang duduk di pojokan kafe ini
sendirian. Langsung saja Nio menghampiri nya. Ia duduk tepat di depan Selvi,
seperti orang sok akrab saja.
“Apa?
“ Tanya Selvi ketus.
Apa-apaan itu?! Tadi dia baik
sekali dengan memberikan Dagger itu kepadaku. Lalu kenapa sekarang jutek
sekali?
“Dagger-mu,
nanti aku membalikannya setelah aku membeli senjata lain.” Nio mencoba
berbasa-basi terlebih dahulu.
“Tidak
usah. Sudah aku bilang, kan? Itu akan jadi milikmu karena sudah menghentikan
pendarahan pamanku.”
“Ya
tapi aku menjadi tidak enak karena senjata ini merupakan dagger kesayangan mu,”
ucap Nio sambil memegang dagger bening mengkilap itu. Sepertinya dagger ini
dirawat dengan baik oleh Selvi.
“Ada
kalanya yang kita sayang harus hilang dan kita harus mengikhlaskannya.”
Nio
terdiam sesaat mendengar perkataan Selvi itu.
“Apa
yang perlu kita bicarakan lagi?”
“Bisakah…”
“Apaan?”
Selvi tidak suka orang yang menggantungkan kalimat nya.
Nio
menatap mata Selvi yang masih dengan wajah juteknya itu. “Bisakah kamu menjadi
partner-ku?”
Selvi
diam sebentar lalu kembali melanjutkan untuk meminum air lagi menggunakan
sedotan. Sepertinya dia tidak peduli dengan permintaan Nio.
“Kenapa
aku?”
“Karena
kamu perempuan yang hebat! Kamu bisa mengalahkan semua musuh yang menyerang
pengawal itu. Aku kagum denganmu!”
“Kalau aku tidak mau?”
Nio
diam sebentar, “Tidak apa-apa, sih. ada kala nya kita harus ikhlas jika yang
kita inginkan tidak tercapai.”
Selvi
mengeluarkan senyum smirk-nya. “Yasudah.”
“Yasudah apa?” Tanya Nio.
Senyuman
smirk itu diubah menjadi senyuman manis, lalu menatap mata Nio.
“Iya,
kita akan menjadi partner dan membentuk tim bersama.”
***